Minggu, 26 Mei 2013

contoh cerpen

" MENGGAPAI CITA-CITA DEMI BAKTIKU KEPADA SUMSEL "

Aku hanyalah gadis biasa, yang hidup disebuah pedesaan yang asri nan indah, aku Aisyah, gadis kecil yang bercita-cita yang sangat mulia “ Guru “ satu kata itulah yang tepat untuk mendeskripsikan cita-citaku. Agar cita-citaku yang mulia itu dapat diraih aku pun harus menempuh pendidikan yang tinggi. Pendidikan yang sudah ku raih adalah SDN Sp. A5 Musi Banyu Asin, SMPI Cipasung Jawa Barat, MAN Cipasung Jawa Barat, IAIN Raden Fatah Palembang.
Perjalanan yang sungguh melahkan untuk sampai kepada tujuan yang menjadi cita-citaku, namun dengan tekad yang kuat dan bulat aku jalani tahap demi tahap dari jenjang pendidikan. Ketika SD aku melewati masa indah itu bersama dengan keluarga tercinta, atas saran yang di berikan kedua orang tuanya untuk melanjutkan studinya kejenjang yang lebih tinggi yakni SMP ke  sebuah Pondok Pesantren yang terletak di sebuah desa kecil di Tasikmalaya. Sedih memang berada jauh dari kedua orang tua bahkan tidak ada sanak saudara. Sering sekali aku mengeluh akan ketidakbetahan yang ku rasakan, ku tekan beberapa nomer yang ada di wartel yang tersedia disana .
Aisyah : Assalamu’alakum
Bapak : wa’alaikumsalam
Aisyah : pak aku enggak betah tinggal disini ? gimana kalau aku pindah aja ?
Bapak : dengarkan bapak kak “ panggilan untuk ku “ keputusan yang kamu ambil saat ini adalah murni keputusan kamu, kan bapak dengan ibu sudah pernah bilang kalau di pesantren itu seperti disebuah penjara, jadi cobalah untuk bertahan demi sebuah cita-cita yang mulia, memang benar kami yang menyarankan kamu untuk melanjutkan kesebuah pondok pesantren. Namun tetap saja keputusan akhir ada di kamu, dan kamu yang memutuskan untuk tinggal disana dan sekarang kamu harus memegang konsekuensinya.
Aisyah : hm… iya sudahlah pak kalau itu solusi yang bapak sarankan, kakak juga nggak bisa apa-apa lagi, udah dulu pak. Wassalamu’alaikum.
Bapak : wa’alaikumussalam.
 Akhirnya dengan nasihat yang diberikan oleh ayahanda dan ibunda tercinta, ia memutuskan untuk tetap berada di Ponpes tersebut walau dengan ketidakbetahan yang ia rasakan. Lama kelamaan ternyata enak juga hidup di Ponpes, disini banyak sekali yang bisa dijadikan sebuah pelajaran untuk sebuah kehidupan, ada banyak sahabat, guru dan kiayi yang dikenal. Disini teman pun bisa dijadikan saudara dan tempat berbagi seakan kita mempunyai saudara. Akibat dari jampi-jampi yang diberikan oleh para kiyai dan guru “Allahumma Paksaken“, dari pepatah yang diberikan itulah aku mencoba untuk memaksakan segala sesuatu yang tidak membuat aku tidak betah disana.
3 tahun sudah aku menjalani masa pendidikan Sekolah Menengah Pertama, setelah menjalani proses evalusi ia pun dinyatakan  lulus. Satu masalah pun muncul mau melanjutkan sekolah dimana ?. Saat itu kedua orang tua ku menjemputku untuk pulang dan mencari sekolah dan pesanteren dengan suasana yang berbeda. Aku pun pulang dengan kesedihan yang sangat mendalam, bagaimana tidak, pesantren ini bagaikan rumah kedua bagi kehidupanku, dan sekarang aku harus meninggalkan rumah tercinta. Sedihnya bukan main namun aku tetap harus melanjutkan cita-cita. Babak baru dalam kehidupanpun dimulai, aku memulai perjalanan dari kota tasik menuju Bandung, sesampai di dago yang merupakan daerah dari kota Bandung, kamipun sampai disebuah Pesantren Darussalam, dago merupakan daerah yang indah apalagi disana banyak pegunungan dan puncak-puncak, namun sayangnya ketika sampai pada Ponpes Darussalam entah kenapa Pondok itu tak mengena dihati, bukan karena tempatnya tak indah tapi rasanya hati ku tidak berkenan tinggal disana.
Setelah selesai dari Ponpes itu, kamipun pergi ke sebuah rumah makan, disana aku, tika, ayah, ibu beserta keluarga yang lain, duduk untuk memesan makanan, namun aku tercengang ketika melihat harga dari makanan-makanan yang ada, harganya mahal banget, huuuuuuuuhhh melihat harganya yang mahal itu rasanya perut ku yang lapar itu pun sudah kenyang dengan sendirinya, yang makan hanya ayah dan pamanku. Perjalananpun kami lanjut ke Bogor, disana aku dan keluarga menemukan Pesantren yang mempunyai system yang sangat bagus, bahkan setiap santri tidak diharuskan membayar apapun dari fasilitas yang telah disediakan, namun lagi-lagi sangat disayangkan Pesantren ini tidak mempunyai sekolah, jadi hanya Pesantrennya masih bersifat salafi. Jadi dengan sangat berat saya memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah disana.
Masih dilingkungan Bogor juga, kami mengunjungi Pesantren yang berciri khas Modern, karena di Pondok ini lebih menekankan pada bahasa, sebenarnya aku merasakan kenyamanan disini, namun aku belum memutuskan ia untuk berada di Ponpes ini. Kamipun pamit untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Setiba dirumah akupun terus berfikir, langkah apa yang harus diambil dalam menentukan sekolah mana yang harus aku ambil, akupun memutuskan untuk kembali ke Tasik. Memasuki fase ketiga dari perjalanan sekolah yakni MAN, tidak sulit bagiku untuk beradaptasi, karena aku memang berasal dari Ponpes ini, hanya saja aku masih perlu beradaptasi dengan teman baru. Masa MAN pun kulalui dengan tidak mudah, banyak rintangan yang harus dilewati, namun aku harus kuat demi cita-cita yang mulia.
            6 tahun aku lalui dengan suka dan duka di pondok ini, perpisahan yang kedua kalipun terjadi, kesedihanpun kian mendalam, rasa berat meninggalkanpun semakin terasa, rasanya ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Ponpes ini saja, namun aku tidak boleh cengeng aku harus kembali ke Sumatera Selatan, aku harus melanjutkan sekolah disana. Keinginan untuk melanjutkan sekolah ke IAIN Raden Fatah Palembang atas keinginanku sendiri.
Tiba saatnya aku memasuki IAIN, babak barupun aku mulai untuk meraih cita-cita, pada awalnya ketidakbetahan pun aku rasa, namun karena dukungan orang-tua dan teman yang selalu menguatkan. Masa remaja akhir yang kulewatkan di IAIN pun tidak berbeda jauh dengan yang lainnya, akupun merasakan ketertarikan kepada lawan jenis, sebagaimana yang aku jalani saat SMP dan MAN, namun yang terpenting dari semua itu ialah bagaimana aku bisa menempatkan perasaan ini dengan sebaiknya, agar tidak salah kaprah. aku yakin bisa menjaga dan mengendalikan perasaan ini sampai tiba saatnya nanti.
4 tahun sudah menjalani proses pendidikan di IAIN ini, akhirnya dengan evaluasi-evalusi yang setidaknya membuat kepala ini rasanya mau pecah, aku meraih juga gelar sarjana. Rasanya senang dan lega. Setelah aku meraih gelar sarjana akupun melamar menjadi salah satu pegawai atau guru disalah satu sekolah di desaku. Akupun telah sampai didepan ruangan kepala sekolah.
Aisyah : Assalamu’alakum
KepSek : Wa’alaikumussalam. Silahkan duduk ? ada apa nak ? .
Aisyah : begini pak, saya mau mengajak bapak untuk bekerja sama dalam mencerdaskan anak bangsa, intinya saya mau melamar menjadi salah satu guru di sekolah bapak. Kiranya bapak berkenan untuk menerima dan memberikan saya kesempatan untuk menjadi guru disekolah bapak ?
KepSek : Boleh bapak lihat berkasnya ?.
Aisyah : Oooo ini pak.
KepSek : [ membuka lembar demi lembar dan sambil tersenyum ], kamu bapak terima menjadi salah satu guru disekolah kami SMP1N Keluang, sesuai dengan bidang kamu yakni PAI, selamat berkerja sama dan jadilah seorang guru yang teladan.
Aisyah : Terimakasih banyak pak. Saya akan berkerja semampu dan semaksimal mungkin dalam mencerdaskan anak bangsa yang sesuai dengan amanat UUD dan syaria’at Islam.
KepSek : Sama-sama. Kalau begitu bapak pamit dulu, karena masih ada pekerjaan yang harus bapak kerjakan, wassalamu’alaikum.
Aisyah : Wa’alakumussalam.
Dengan semangat yang baru dan tekad yang bulat, aku berniat mengabdikan diriku dengan segala potensi yang ada dan mengoptimalkannya, semaksimal mungkin, untuk menjadi guru di sebuah sekolah yang berada di kecamatan keluang kabupaten Musi Banyu Asin, Provinsi Sumatera Selatan. 

" semoga menjadi inspirasi "
Aamiin